Rabu, 06 Februari 2013

kekuasaan yang menguasai


Kekuasaan yang Menguasai
Bangsa kita merupakan bangsa yang memiliki budaya norma dan aturan yang selalu menjadi pengintai kita untuk selalu kita taati dan kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari.  Mulai dari perilaku yang ditujukan untuk berperilaku dengan masyarakat secara umun maupun untuk diri sendiri atau pribadi. Masyarakat seolah-olah sudah memiliki rambu-rambu yang sudah dalam menjalani hidupnya yang di dapat dari warisan turun-temurun. Entah itu sesuai dengan hati atau mereka hanya menikmati apa yang sudah menjadi rambu mereka dan harus ditaati.
Karena kekuasaan yang dimiliki dan yang sedang berkembang saat ini mengawasi mereka. Kekuasaan Negara, agama, budaya yang berada dalam ligkup kita kental sekali untuk selalu mengontrol kehidupan rakyatnya untuk terus menjaga kesetabilan hidup bersama dan terus menjaga nilai-nilai yang berlaku.
Tak pandang memngekang atau apa. Yang terpenting adalah terpenuhinya maksud dan tujuan kekuasaan tersebut. Baik dalam ranah, agama, politik, pendidikan, bahkan seksualitas semua ada kekuasan yang mengatur dan mengontrol. Sehingga apa yang dilakaukan dapat menjadi seragam dan “baik” menurut kekuasaan yang sedang berlaku.
Meurut Foucault, tidak ada kekuasaan yang dilaksanakan tanpa serangkaian tujuan dan sasaran. Semua sudah tersusun dengan rapi dan memiliki target yang harus di capai. Namun yang menjadi pertanyaan dari semua itu adalah, bagaimana dengan hak dan kebebasan berekspresi pada diri setiap individu miliki? Pemilik kekuasaan seolah tidak pernah memikirkan masalah itu.
Setiap kekuasan yang ada dalam lokus-lokus kecil juga memiliki kekuasaan yang mengontrol, contohnya dalam suatu Negara memiliki kekuasaan untuk mengatur, yang didalam Negara tersebut juga ada kekuasaan-kekuasaan kecil seperti departemen-departemen yang mengatur, kebawah lagi di daerah atu wilayah tersebut memiliki pos-pos tertentu untuk mengatur segala tindak tanduk individu menjadi seragam.
Agama merupakan suatu control yang begitu lekat dan pekat dalam mengatur seluruh kehidupan beragama. Memalui ayat-ayat yang diturunkan yang menjadi pedoman hidup manusia, yang nantianya akan mengarahkan mereka dalam suatu kehidupan yang kekal. Yang menjadi permasalah disini adalah, penyampaian yang diberikan kepada pemuka agama yang sering kali menyempitkan cara berfikir dan terkadang menjadikan kekuasaan suatu agama itu menjadi sempit dan terkadang menjadi orang yang beragama itu tidak dapat menikmati atau merasakan yang namanya Desublmasirepresif. Mereka tidak berangkat dari pemahaman mereka sendiri, tetapi mereka terkadang berangkat dari pengetahuan yang setengah dan hanya tunduk pada suatu yang mereka tidak tau. Dogama yang mereka terima hanya mereka telan secara mentah dan tidak di cerna.
Namun di samping agama,ada juga beberapa bidang seperi kedokteran yang sia menjadi polisi bagi mereka yang berada atau tidak berada pada garis normal. Merekalah yang menjalankan norma-norma masyarakat. Apa yang dikatan dengan normal dan abnormal.
Bagi Foucault mempelajari abnormalitas adalah salah satu cara utama bagaimana hubungan-hubungan kekuasan dibangun dalam masyarakat, ketika suatu abnnormalitas dan yang berkaitan dengan normalnya didefinisikan, sedikit banyak orang normal selalu berkuasa atas orang abnormal.
Foucault juga pernah merasakan hal seperti ini ketika dia di ketahui bahwa dia adalah seorang homoseksual, yang pada sat itu merupakan suatu penyakit yang mengundang duka nestapa. Dan dia menganggap seorang peskiater merupakan polisi mental yang memutuskan yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan oleh masyarakat. Sehingga in menjadi tekanan bagi orang yang tidak sama dengan kebiasaan mayoritas.
Dalam ranah seksualitas Foucault memandang manusia terjebak pada kekuasaan yang dimiliki pada setiap lembaga yang berkembang. Merasa tabu dan asing dengan istilah yang menjadi tidak lazim di ucapkan dan di keluarkan yang tidak sesuai pada tempatnya. Dalam hal ini Foucault memandang kita sebagai kaum Victorian. Sebuah cermin masyarakat yang hidup dalam kemunafikan diri dan menyembunnyikan seksualitas mereka.
Sama yang seperti kita rasakan saat ini, kita sering kali terjebak dalam seksualitas kita sendiri yang terkadang kita tidak mampu mengetahuinya. Bahkan ada istilah kita jauh ketinggalan dari pada tumbuhan yang kita lebih tau tentang seksualitasnya dan reproduksinya dari pada kita mengetahu tentang diri kita sendiri.
Ini memperlihatkan kita bahwasanya kita  terjebak dalm suatu tempat dimana kita menjadi orang asing dengan apa yang kita ucapkan sendiri dna apa yang kita ketahui. Saat masyarakat mengetahui keutuhan seksualitasnya harus di penuhi maka mereka harus menyembunyikannya dulu dan menunggu waktu dan tempat yang tepatdan harus sesuai dengan apa yang di gariskan pada norma yang ada. Sehingga mereka tidak bebas dalam mengatur seks mereka hanya ada tempat-tepat tertentu yang bagi masyarakat baik. Selain tempat yang mereka sepakati mereka menganggap itu adalah salah.
Dalam kacamata sekarang seringkali kita dengar anti seks bebas, tapi sering kali kita melihat adanya prostitusi yang melegalkan seks bebas dimana itu adalah tempat yang menyebakan adanya pelacuran dan tersebarnya pelacur-pelacur yang menjad pemuas seksualitas.
Kata-kata yang kita ucapkan juga terkadang menjadi penanda kita bahwasanya seksualitas kita sebenarnya tidak terbendung. Namun kekuasaan yang memiliki norma-norma menjadikan kita tertutup dengan semua itu. Contohnya, terkadang kita menucakan kata yang yang bersifat intim namun kita menanggapinya menjadi hal yang histeris dan tak biasa, dan itu tabu. Yang selanjutnya kita dapat menagkap bahwasanya ternyata fikiran kita menjadi menuju kepada suatu hal yang berupaya untuk memenuhi hasrat seksualitas kita.
Kekuasaaan ini menjadikan kita bungkan dengan realita diri kita sendiri dan tidak bisa berkata lantag tentang kebenaran. Karena mereka akan tersingkir dan di anggap aneh dan menjadi perusak norma yang suda berlaku sehingga mereka harus disingkirkan atau harus memilih tempat lain jika ingin melakukan hal-hal yang tidak lazim pada masyarakat.
Bagi Freud, setiap kali kita kita berbicara tentang seks kita secaraberani membuag rantai-rantai kita dan revolusi seksual adalah langkah pertama menuju setiap revolusi yang lain. Freud adaah orang pertama yang berusaha sekuat tenaga untuk menjad jujur, terbuka, dan sehat dalam hal seks, dan membuang segala pembatasan oleh laki-laki berfikiran kotor yang mengendalikan dunia.
Pembahasan seksualitas yang selama ini kita ketahui hanya berada di lingkup formal, yang manakala kita membawanya di dalam dunia nonformal akan terlihat tabu dan tidak sesuai. Pembahasan ini hanya berkisar pada ranah kesehatan, kedokteran, biologi yang nantnya ketika kita berbicara seksualitas di luar ranah tersebut itu akan menjadikan sesuatu yang bersifat vulgar dan tidak pantas untuk di dengar.
Inilah kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga dala mengkontruksi pemikiran sehingga mampu mengkotakkan apa yang harus dan tidak harus mereka lakukan atau ucapkan. Namun parahnya ini malah akan mengekang dan menjerumuskan manusia pada kemunafikan tentang seksualitasnya, karena mereka sadar bahwasanya seks adala kebuthan mereka yang harus di penuhi.
Sebenarnya upaya Foucault ini adalah bertujuan untuk untuk menyelidiki kasus masyarakat yang telah menghukum diri dengan keras karena kemunafikannya selama lebih dari satu abad, yang dengan bertele-tele berbicara tentang diam dirinya sendiri, dengan sangat susah payah menghubungkan secara mendetail hal-hal yang tidak dikatakannya, mencela daya-daya kekuatan yang dijalankannya, dan berjajnji membebaskan diri dari hukum-hukum yang ketat membuatnya berfugsi.

1 komentar:

  1. siip.... god.. luar biasa..semoga kedepannya menjadi lebih baik...

    Kita sekarang hidup dizaman modern yang menurut durkheim cirinya ada pembagian kerja yang spesialis... atau lebih ringkasnya ciri masyarakat kita terstruktur.... norma dan budaya bagian dari struktur....sehingga kita patuh terhadap orang tua, kita tidak bicara vulgar tenatng sex di tempat umum itu merupakan bagian dari norma.. bukan karena kehendak sendiri.... norma yang membuat kita patuh.... karna masyarakat kita masyarakat organik.. yang terstruktur...

    BalasHapus